Info Sekolah
Sabtu, 06 Des 2025
  • "Ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan dan lingkungan dalam konteks keruangan"
  • "Ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan dan lingkungan dalam konteks keruangan"
4 Oktober 2025

TEORI KONSPIRASI ANTI GEOGRAFI

Sab, 4 Oktober 2025 Dibaca 162x

Oleh: Asbullah Hudha, S.Si


Disclaimer : tulisan ini adalah opini, bukan tulisan ilmiah, walaupun mengambil sedikit metodologi ilmiah. Pembaca bisa jadi tidak sepakat, tapi beda pikiran tidak bisa dilarang dan dikekang.

AWALAN

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Terbesar dalam artian jumlah pulau-pulau yang ada di dalam teritorial wilayahnya. Data resmi dari laman Badan Informasi Geospasial (BIG), jumlah pulau di Indonesia adalah 17.380 pulau di tahun 2024[1]. Jumlah yang sangat besar yang dimiliki oleh sebuah negara berdaulat. Wilayah dengan karakteristik Archipelago Nation ini tentu saja merupakan anugerah tersendiri bagi bangsa Indonesia sekaligus sebagai tantangan bagi orang-orang di dalamnya. Tidak hanya dengan jumlah pulau terbanyak di dunia, penduduk di kepulauan Nusantara ini juga ke empat terbesar di dunia untuk jumlah penduduknya. Data yang dilansir oleh World Population Review[2], Indonesia memiliki 285,7 Juta (angka kasar) dengan rerata pertumbuhan penduduk 0,78% per tahun, serta kepadatan penduduk 157,72 jiwa/km2. Indonesia juga dikatakan merupakan sebuah negara yang kaya akan sumberdaya alam dan kecantikan alamnya.

Harusnya penduduk Indonesia bisa sejahtera secara merata dengan modal yang ada sebagaimana data di atas. Para Founding father kita pun memperjuangkan agar arah negara kita kepada kesejahteraan yang adil dan merata. Kesejahteraan, yang adil dan merata bagaimanapun adalah gambaran umum kemajuan sebuah bangsa. Namun kenyataannya, sebuah ironi yang kita saksikan dalam keseharian kita. Kekayaan yang seharusnya jadi modal dasar bagi bangsa ini untuk maju, semakin berkembang dan memimpin justru malah digerogoti oleh segelintir orang atau kelompok dan segolongan tertentu. Rakyat biasa tidak bisa mengakses kesejahteraan secara adil dan wajar. Sistem pemerintahan dan politik yang ada sekarang semakin memperparah keadaan dengan bersekutunya kepentingan lewat jalur legislatif, yudikatif , dan eksekutif dengan para pemilik modal besar yang terus menerus ingin mempertahankan status quonya. Dominasi akses kesejahteraan lewat penguasaan sumberdaya alam oleh segelintir orang atau kelompok ini yang menyebabkan kemudian masyarakat Indonesia terpecah menjadi kelas-kelas masyarakat. Masyarakat kelas atas atau kelas elite adalah masyarakat yang bisa dengan mudah mengakses kesejahteraan yang ditandai dengan mudahnya mengakses semua sumberdaya yang ada. Jumlah kelas masyarakat ini tentu saja ada di puncak piramida penduduk Indonesia. Mereka sedikit saja, mungkin hanya nol koma sekian persen dari penduduk Indonesia, namun punya power dan otoritas yang sangat besar untuk akses kesejahteraannya. Kemudian ada masyarakat kelas menengah, yang sebenarnya merupakan masyarakat yang secara kesejahteraan sudah lumayan, namun masih terus berjuang untuk bisa berada posisi aman secara ekonomi. Akses kelompok ini terhadap sumberdaya terbatas (atau dibatasi). Sedikit saja terjadi perubahan pada kehidupan mereka, maka rentan kehidupan ekonominya. Terakhir tentu saja kelas masyarakat bawah. Kelas masyarakat dengan kesejahteraan yang terbatas, termarjinalkan dan hampir tidak memiliki akses untuk sumberdaya yang ada. Jumlah kelas masyarakat ini sangat mungkin bertambah ketika kelas masayarakat di atasnya mengalami perubahan kondisi kesejahteraannya dan turun kelas.

Sudah menjadi fenomena yang umum terjadi ketika ada kelompok yang dienakkan dan diuntungkan dari dominasi ini kemudian ingin terus mempertahankan situasi tersebut. Inilah yang kemudian disebut status quo. Penguasa ingin terus berkuasa, dan pengusaha ingin terus mempertahankan keuntungan berusahanya dengan terus menjalin kongkalikongnya dengan penguasa. Efek dari kongkalikong ini sebenarnya bisa jahat bisa baik. Tapi kecenderungannya adalah keserakahan. Jarang sekali ada yang kemudian punya itikad baik untuk mensejahterakan rakyat banyak dengan membagi pundi-pundi dari keuntungannya. Keserakahan ini kemudian melahirkan praktik-praktik kotor dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) demi status quo, dijalankan dan bahkan sampai taraf membudaya. Sudah sangat sistemik, terutama mereka yang mempunyai akses kepada sumberdaya dan anggaran (baca: uang rakyat). Parah banget memang.

Bagaimana kelompok kecil yang mendominasi ini kemudian melakukan upaya-upayanya dalam mempertahankan status quo nya? Berbekal pendanaan yang tak terbatas, pengaruh dan kekuasaan yang luas serta akses ke semua lini kehidupan mereka masuk ke birokrasi. Mereka meracuni lembaga-lembaga negara baik eksekutif, yudikatif, dan legislatif dengan interest-interest mereka. Republik ini hari-hari ini dipenuhi berita-berita ketidakadilan, permainan hukum, ketimpangan antara si kaya dan si miskin, permainan konstitusi dan berita-berita jelek yang indikasinya mengarah kepada kecurigaan rakyat pada kelompok yang dominan tersebut. Kemarahan rakyat akhirnya pecah beberapa waktu lalu dengan demo besar di berbagai kota besar Indonesia yang berakhir rusuh dan diwarnai meninggalnya rakyat sipil serta penjarahan di beberapa rumah pejabat. [3]

Pasca kerusuhan dan penjarahan, mulai muncul manuver dari kelompok elit negeri ini yang sebenarnya adalah sekedar menambal saja kebocoran dari upaya status quo ini. Sejumlah wakil rakyat yang dianggap bermasalah dinon-aktifkan, beberapa menteri direshuffle, untuk meredakan suasana kemarahan rakyat. Rakyat kembali dininabobokkan dengan upaya ini, dijanjikan penggelontoran dana 200 triliun untuk membangkitkan ekonomi, MBG dan lain-lain. Padahal substansi permasalahan kesejahteraan yang merata dan adil belum tersentuh. Cantik sekali memang permainan kelompok ini, bisa-bisanya membelokkan isu. Sampai segitunya!

MASALAH DAN KONTEKSNYA

Lantas, apa hubungannya tulisan ini dengan para guru Geografi sekalian?

Saya ingin mengemukakan opini saya pribadi terkait status quo dan apa yang sekarang menjadi keresahan Bapak Ibu Guru Geografi akhir-akhir ini. Geografi sepertinya akan semakin dimarjinalkan keberadaannya. Marjinalisasi ini ditandai dengan dihapusnya geografi sebagai mata pelajaran wajib untuk siswa SMA, dan hanya diajarkan untuk siswa jurusan atau program studi ilmu-ilmu sosial. Otomatis siswa yang memilih jurusan ilmu-ilmu alam, tidak akan mengetahui pengetahuan dasar geografi. Padahal kurang alam apa ilmu geografi itu? Selain itu di seleksi penerimaan perguruan tinggi negeri , geografi sangat sedikit kaitannya dengan berbagai jurusan di perguran tinggi yang kemudian menjadikan geografi sebagai pelajaran minoritas. Sungguh bukti yang tidak terbantahkan tentang tidak pahamnya pengambil keputusan bidang pendidikan tentang hal ini. Dari sini kemudian,  muncullah ide untuk (kembali) mewajibkan saja Geografi menjadi mata pelajaran wajib setara dengan bahasa Indonesia, PKN, Agama, Olahraga, Kesenian dan sebagainya. Perjuangan untuk bisa menjadikan geografi sebagai mata pelajaran yang diperhitungkan sebenarnya sudah cukup lama. Lembaga pendidikan seperti UGM[4], UNY[5], dan organisasi profesi Pekumpulan Profesi Pendidik Geografi Indonesia ( P3GI )[6] secara terus menerus memperjuangkan eksistensi Geografi. Audiensi para penggiat untuk bisa memajukan

Geografi ini juga pernah dilakukan dengan menemui Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) tahun 2013 lalu.[7]

Hasilnya?

Samar-samar. Tidak jelas.

Kok bisa?

Kurang penting bagaimanakah geografi untuk bangsa ini? Negeri dengan puluhan ribu pulau, dengan ratusan suku, bahasa, kesenian serta budaya ini butuh pengetahuan geografi bagi penduduk dan rakyatnya. Apa yang bakal terjadi kalau geografi tidak (lagi) diajarkan di ruang-ruang kelas anak-anak kita? Akankah penduduk negeri ini akan tetap saling mengenal satu sama lain? Apakah anak-anak kita akan kenal dengan wawasan Nusantara? Akankah bangsa ini tetap eksis? Bertubi-tubi pertanyaan akan muncul dengan hilangnya atau terpinggirkannya pengetahuan geografi ini. Perjuangan para penggiat Geografi sampai sekarang masih terus menerus dilakukan. Petisi Geografi juga siap digaungkan untuk memperjuangkan eksistensi geografi sebagai mata pelajaran wajib. Padahal ya sudah jelas benar kebutuhan bangsa ini akan pengetahuan geografi untuk keutuhan bangsa ini, untuk pembangunan bangsa ini, untuk kesejahteraan penduduk negeri ini. Namun tetap saja, geografi dianggap angin lalu.

“Eureka!!!” begitu Archimedes bersorak dari tempat mandinya setelah pikirannya menemukan jawaban pertanyaan yang menjadi masalahnya. Sementara itu saya lebih memilih versi kearifan lokal dengan konteks yang berbeda.

Asyem![8] Masalah telah ditemukan!” teriak saya dalam batin.

Saatnya mengurai benang merah permasalahan ini.

Seharusnya geografi sangat layak dijadikan pelajaran wajib setelah kita ngerti betapa pentingnya geografi bagi bangsa ini. Namun sepertinya banyak invisible hands yang enggan membuat geografi menjadi pengetahuan wajib bagi anak-anak Indonesia. Inilah masalah pokok dalam tulisan ini. Selaiknya urutan dalam scientific research, maka setelah identifikasi masalah, kemudian ada tahapan merumuskan masalah. Maka rumusan masalah yang saya ajukan dalam tulisan ini adalah :

LANJUT DI PART 2


[1] https://sipulau.big.go.id/news/11

[2] https://worldpopulationreview.com/countries/indonesia

[3] https://www.bbc.com/indonesia/articles/c4gzn5vvw7jo

[4] https://ugm.ac.id/id/berita/17561-komunitas-geografi-usulkan-mata-pelajaran-geografi-diajarkan-di-tingkat-dasar-dan-menengah/

[5] https://www.uny.ac.id/index.php/id/berita/kongres-i-p3gi-dorong-geografi-jadi-mapel-wajib-di-sekolah

[6] https://jogjakartanews.com/baca/2025/07/04/27011/dorong-geografi-jadi-mata-pelajaran-wajib-nasional-p3gi-gelar-rakernas-perdana&ved=2ahUKEwij7urjseGPAxWQyDgGHT_fIkY4ChAWegQIIxAB&usg=AOvVaw3SpjsfSsBIcL3CJpbILrMl

[7] Tidak ada link berita, tapi pernah dishare file presentasi audiensi IGI ke Wantimpres di tahun 2013

[8] Maaf ini sebenarnya tidak boleh terucap, cuma ini karena tulisan jadi mohon dimaafkan.

Artikel ini memiliki

2 Komentar

Sangat menarik tulisan yang disajikan kali ini, mengangkat tema yang sangat relevan dengan apa yang dialami oleh para guru Geografi dan dinamika perkembangan kurikulum. Gaya tulisan yang renyah dan mengalir dengan alur campuran, membuat pembaca tetap fokus dan selalu tertarik menunggu tulisan edisi berikutnya.

Tinggalkan Komentar

 

Agenda

29
Nov 2025
04
Okt 2025
waktu : 08:00
Agenda telah lewat
27
Sep 2025
waktu : 07:00
Agenda telah lewat
29
Agu 2025
waktu : 19:45
Agenda telah lewat

Link Terkait