Info Sekolah
Sabtu, 06 Des 2025
  • "Ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan dan lingkungan dalam konteks keruangan"
  • "Ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kewilayahan dan lingkungan dalam konteks keruangan"
20 September 2025

BUDGET OUTDOOR LEARNING #2 TAK ADA ROTAN AKAR PUN JADI

Sab, 20 September 2025 Dibaca 180x

Tulisan ini oleh Asbullah Hudha, Anggota MGMP Geografi SMA Kabupaten Bekasi, Pendidik Mata Pelajaran Geografi di IIBS RI | International Islamic Boarding School, juga Pengurus MGMP Geografi Kabupaten Bekasi Bidang Pengembangan Organisasi Periode 2025-2028


Melakukan sesuatu hal yang terlihat kecil, namun dengan pemikiran yang besar bukanlah hal sepele. Bisa jadi itulah perayaan keberhasilan memaknai pikiran yang absurd menjadi konkret (Anonym)

Masih tentang outdoor learning, saya coba tuntaskan seri ini dengan bercerita tentang pengalaman merancang, menyiapkan, melaksanakan, memonitoring, mengevaluasi, melakukan refleksi, dan menindaklanjuti kegiatan outdoor learning yang pahe alias hemat.

Sebagai disclaimer, tulisan yang saya ceritakan ini bukan sebuah pakem atau pola yang selalu bisa diterapkan. Namun, setidaknya bisa memberikan gambaran kepada kawan-kawan guru, apalagi jika kemudian menginspirasi. Alhamdulillaah, ilman naafi’an.

sumber gambar: https://stock.adobe.com/

CERITA 1

Berawal dari kejenuhan mengajar di dalam kelas, saya terpikir untuk sesekali keluar dari zona nyaman tersebut. Switching environment sebagai refreshment untuk jiwa yang jenuh, “Apa yang harus diperbuat biar nggak garing-garing banget dalam pembelajaran?”

Saya agak lupa kapan pertama kali saya melakukan outdoor learning mandiri yang budget itu. Sepengetahuan saya, outdoor learning pertama yang saya lakukan di sekolah saat itu adalah outdoor learning yang sangat ideal dan menyenangkan, karena mendapatkan dukungan penuh dari sekolah dalam bentuk field trip. Waktu itu, kami field trip ke Museum Geologi Bandung. Seingat saya, rute ke Bandung masih melewati jalur lama karena Tol Cipularang belum jadi sepenuhnya.

Dokumentasi: Pribadi

Field trip itu berarti saat Pak SBY masih menjadi presiden, dan belum ada KTT Asia Afrika (sepertinya November 2004). Rutenya masih melewati Tol Cikampek yang terhenti sampai Gerbang Tol Cikopo. Setelah itu, kami keluar lewat Cibungur, Sadang, masuk Kota Purwakarta, keluar di Ciganea, Pleret, Cikalong, hingga ke daerah Kabupaten Bandung Barat dan sampai ke Kota Bandung. Sudah lama juga ya, 20 tahun yang lalu.

Saat itu saya diminta menyiapkan lembar kerja siswa (LKS) sebagai tagihan bagi siswa, supaya benar-benar menjadi field trip yang ada muatan akademisnya. Maka, saya buatkan LKS yang memuat materi bab litosfer: dari sejarah pembentukan bumi, struktur bumi, siklus batuan, jenis-jenis batuan, proses-proses endogen dan eksogen, serta pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya mineral dan energinya.

Setelah saya buat, LKS-nya ada sekitar 4 sampai 5 lembar yang cukup banyak. Saya pikir tidak akan cukup jika anak-anak menyelesaikannya sendirian. Akhirnya, saya putuskan untuk membaginya menjadi beberapa kelompok. Alhamdulillaah, kegiatan di hari-H berjalan dengan lancar.

Apakah kemudian berakhir hanya di pengumpulan informasi dan data? Tentu tidak. Saya putuskan untuk “menyiksa” para siswa dengan tugas lain, yaitu membuat laporan field trip. Jadi sekalian saja, mumpung mereka masih relatif ingat karena belum lama dari waktu field trip. Saya sendiri takjub, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas saya dengan baik.

Padahal, jika diperhatikan lagi, waktu itu masih tahun 2004. Smartphone belum marak di kalangan anak-anak dan memang belum seramai dan secanggih sekarang. Sistem operasi komputer saat itu juga masih transisi dari Windows 98 ke Windows XP, kalau tidak salah. Sebagai catatan, tugas menulis laporannya itu ditulis tangan. Kebayang kan, menulis laporan kurang lebih 10 sampai 15 lembar kertas HVS ukuran F4? Beruntung, tugas itu dibuat berkelompok dan diberi jangka waktu pengerjaan selama kurang lebih 2 minggu. Saya juga takjub melihat hasil laporannya. Dengan sumber daya dan teknologi yang seadanya waktu itu, kreativitas mereka tidak padam, tetap menyala. Masya Allah tabarakallaah.

Pasca field trip dan kegiatan pembuatan laporan, saya masih sempat melanjutkan pembahasan dengan siswa terkait segala hal mengenai bab litosfer, termasuk peristiwa-peristiwa tektonisme, vulkanisme, seisme, dan yang lain. Qadarullaah, beberapa pekan setelah itu, dinampakkan contoh nyata berupa pelajaran yang teramat sangat pahit, dengan peristiwa gempa besar dan tsunami di Aceh bulan Desember 2004. Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’uun.

Anyway, cerita di atas tentu merupakan contoh outdoor learning, tapi bukan yang budget. Itu butuh pendanaan, butuh izin seluruh stakeholder yang memakan waktu dan pemikiran yang cukup rumit. Kurang cocok kalau faktor pendukungnya tidak suport.


Cerita 2

Kebetulan saat itu materi yang diajarkan adalah tentang pedosfer. Terlintas di benak saya untuk mengajak siswa memahami apa itu tanah, dalam konteks geografi tentunya. Saya ajak mereka ke tanah lapang yang letaknya berdekatan dengan lapangan sepak bola sekolah. Ada galian dan gundukan tanah di sana yang sebelumnya sudah saya amati dan bisa menjadi objek penjelasan tentang sifat fisik tanah.

Walaupun hanya di luar lobi sekolah, saya tetap harus lapor ke resepsionis dan sekuriti kalau saya dan siswa akan keluar sebentar untuk belajar. Sampai segitunya? Ya, itu memang protokol di sekolah saya. Sebagai informasi tambahan, sekolah saya adalah sekolah berasrama. Ada beberapa kasus di mana siswa yang tidak betah sempat kabur dari asrama. Kaburnya siswa biasanya terjadi karena kelengahan, dan jika sudah begitu, guru pasti yang disalahkan karena tidak bisa menjaga dan mengawasi siswa saat belajar atau berkegiatan di luar.

Karena risikonya cukup besar, saya hanya bisa membawa mereka tidak jauh dari sekolah, hanya beberapa langkah saja. Tapi ini tetap outdoor learning, kan ya?

Saat di lokasi pembelajaran, saya meminta mereka mengamati, memperhatikan, dan mencatat poin-poin penting dari penjelasan saya terkait apa itu tanah dan apa saja komponennya, sambil berdiskusi. Sambil menjelaskan, saya ambil segenggam tanah dan menanyakan kepada siswa material apa saja yang ada di tanah tersebut.

“Tangannya jadi kotor dong?” Pasti! Tapi memang begitu di lapangan. Tidak boleh takut kotor, baik siswa maupun gurunya, demi mendapatkan pengetahuan baru. Setelah penjelasan tentang komponen tanah, saya lanjutkan dengan sifat fisik tanah yang lain, seperti tekstur, struktur, warna, dan lain-lain, termasuk horizon tanah dengan menunjuk galian tanah yang masih berada di lokasi dekat lapangan sepak bola. Saya kembali meminta siswa mengamati horizon tanah yang terlihat di galian dan mengingatnya untuk digambar nanti di kelas.

Sampai di situ saja sih, kegiatan outdoor learning untuk topik ini. Tapi yang ini gratis dan cuma-cuma. Jadi, menurut saya ini masuk dalam kriteria budget outdoor learning.

Pernahkah Bapak dan Ibu guru hebat semua melakukan kegiatan serupa? Toss dulu kalau pernah, hehehe…


Cerita 3

(tampak di belakang pojok kiri atas adalah komplek sekolah saya)

Sekolah saya itu lokasinya dikelilingi pabrik-pabrik, di belakang pasar modern, dan dekat dengan kantor pemerintahan desa. Pengalaman saya memanfaatkan sumber daya ruang sekolah untuk pembelajaran outdoor adalah menjadikan pabrik dan kantor desa sebagai lokasi kunjungan.

Kebetulan di sisi timur sekolah saya adalah pabrik pengolahan biji plastik menjadi berbagai kemasan produk rumah tangga, seperti sabun, sampo, baby oil, dan sebagainya. Saya melewati pabrik ini setiap pagi dan sore, enam kali seminggu. PT Dynaplast namanya. Pabrik ini merupakan supplier kemasan plastik untuk PT Unilever, PT Johnson & Johnson, PT Kao, PT Wings, dan sebagainya.

Kebetulan waktu itu materinya tentang teori industri, jenis-jenis industri, kegiatan industri, dan lokasi industri (ini zaman KBK 2004). Pikir saya, “Wah, ini masuk ke pembelajaran kalau anak-anak diajak jalan-jalan ke dalam pabriknya.” Maka, saya menemui wakil kepala sekolah bagian akademik dan kurikulum untuk menanyakan kemungkinan siswa boleh berkunjung ke pabrik tetangga sekolah. Alhamdulillaah, diperbolehkan. Saya juga tidak lupa menghubungi pihak humas pabrik untuk kemungkinan kunjungan.

Semua korespondensi waktu itu saya lakukan secara mandiri, tanpa bantuan “orang dalam”, hanya dengan sedikit kenekatan untuk bisa membuka komunikasi. Gayung bersambut, pihak pabrik ternyata mengizinkan. Saya tindak lanjuti dengan melakukan komunikasi formal melalui surat resmi dari sekolah. Saya rencanakan waktu pelaksanaannya, serta apa saja yang akan dilakukan di pabrik. Sehari sebelum pelaksanaan kegiatan outdoor learning, saya berkoordinasi dengan guru yang mengajar setelah saya. Kemungkinan akan ada waktunya yang terpakai karena ada outdoor learning ke pabrik. Guru yang bersangkutan mengiyakan, berarti aman.

Pada Hari-H pelaksanaan, saya kawal anak-anak berjalan kaki ke pabrik yang jaraknya mungkin hanya ratusan langkah dari sekolah. Pihak pabrik menyambut rombongan dan mengajak kami factory tour. Ada tour guide dari pihak pabrik yang menjelaskan panjang lebar seluruh rangkaian proses manufaktur. Penjelasan tersebut sepertinya memberikan wawasan dan pengetahuan baru bagi saya dan siswa-siswa.

Di akhir kegiatan, saya dan siswa dikumpulkan di satu ruang meeting dan ada sesi Q&A. Siswa-siswa lumayan antusias dalam kegiatan ini karena bertemu dengan orang baru dan merasakan suasana baru yang menggerakkan rasa penasarannya. Tidak semua, tapi lumayan banyak. Hari itu diakhiri dengan berfoto sebagai dokumentasi dari pihak pabrik, sebagai bagian dari CSR mereka. Sepertinya, mereka juga jadi punya laporan ke owner dan mungkin dinas perindustrian bahwa telah melaksanakan kegiatan CSR kepada sekolah. Sama-sama untung.


Cerita Outdoor Learning Lainnya

Cerita lain tentang outdoor learning di kantor desa Sukaresmi akan saya ceritakan lain kali. Intinya, outdoor learning tentang materi wilayah desa. Kegiatan yang saya dan siswa lakukan adalah menggali data wilayah dan perkembangannya di kantor desa, serta observasi lingkungan desa di sekitar sekolah. Proses persiapannya hampir sama dengan outdoor learning ke pabrik plastik tadi, termasuk surat-menyuratnya.

Nah, dari ketiga cerita saya tadi, ada pilihan dalam kegiatan outdoor learning. Mau yang lengkap, komprehensif, dan berbayar, atau yang sederhana, tidak ribet, dan gratis. Keduanya menurut saya sama-sama punya kebermaknaan, meskipun kesannya pasti berbeda. Secara tujuan, outdoor learning yang saya lakukan sudah cukup sesuai (ini subjektif, ya…).

Pasti banyak ide dari Bapak dan Ibu guru geografi yang hebat dan kreatif, dalam mencoba outdoor learning di lingkungan masing-masing. Bisa ke sawah, ke sungai, ke halaman, ke rumah-rumah warga sekitar, ke pabrik-pabrik, di mana saja sesuai dengan konteks pembelajaran kita. Bahkan, kita bisa sesekali meminta siswa keluar kelas untuk sekadar mengamati kondisi atmosfer, mengukur suhu di luar dan di dalam kelas, mengamati bentuk awan, dan sebagainya.

Kuncinya adalah amati, kenali, pelajari, dan mencoba dengan berani. Jangan takut gagal, dan jangan malas, serta dibumbui dengan sedikit kenekatan. Gagal atau berhasil sama sekali bukan kewajiban kita untuk menentukannya. Kendali kita sebagai guru adalah melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab dan cinta dari hati kita untuk pendidikan anak-anak dan negeri yang kita cintai ini. Mengutip kata-kata perpisahan Bu Sri Mulyani Indarwati, mantan menteri keuangan kita yang mengundurkan diri beberapa waktu lalu, “Jangan Pernah Lelah Mencintai Indonesia.” Caranya? Ajak outdoor learning!

Sekian.

Artikel ini memiliki

3 Komentar

Tinggalkan Komentar

 

Agenda

29
Nov 2025
04
Okt 2025
waktu : 08:00
Agenda telah lewat
27
Sep 2025
waktu : 07:00
Agenda telah lewat
29
Agu 2025
waktu : 19:45
Agenda telah lewat

Link Terkait